Perlahan aku mencoba masuk ke sebuah tempat yang sangat ramai. di
mana tempat tersebut dihiasi aneka macam bunga yang indah. ku baca
setiap deretan papan bunga yang ada di sebelahku. Selamat Bahagia Aldi
& Desi. tulisan itu membuat mataku ingin mengeluarkan sesuatu.
tetesan yang tak ingin aku biarkan jatuh meski hanya di sudut pipiku.
aku terus melangkahkan kakiku sambil menundukkan kepalaku. aku harus
bahagia, iya aku harus. aku tak ingin menghancurkan acara ini. acara
pernikahan seorang sahabatku sekaligus orang yang aku cintai. sakit,
perih tapi ini jalanku, aku yang salah telah menyembunyikan perasaan ini
2 tahun lamanya dari sejak aku mengenalnya.
Akhirnya aku sampai di depan pintu Gereja, di mana pintu ini yang
akan mengharuskan aku masuk dan melihat semua yang amat sangat akan
membuat hatiku hancur.
“hei syah, makasih sudah mau hadir.”
“aldi jelas aku harus hadir, ini kan acara penting sahabatku.”
“iya sudah aku duluan iya, acaranya sudah mau di mulai.”
Tanpa mendengar jawabanku, dia langsung meninggalkanku. mungkin ini
acara yang penting untukmu. bahkan sangat penting sampai harus
mengorbankan perasaanku.
Akhirnya aku mengambil tempat dudukku di pertengahan paling pojok.
acara pun di mulai, Pendeta membacakan 1/1 yang wajib beliau bacakan
saat sebuah pernikahan berlangsung. ingin rasanya aku pergi dari sini,
atau aku menghentikan waktu sejenak, bahkan kalau boleh aku menjelma
menjadi patung yang tak akan bisa menangis dan mempunyai perasaan sakit.
Aldi andai kamu tau, aku … aku sangat. ah pikir apa aku, aku tak pantas
menjadi pendampingnya, lihat saja orang yang berada di sampingnya, ada
seorang gadis yang cantik, yang sesuai kriteria Aldi. sementara aku
hanya seorang gadis sekaligus sahabatnya yang pengecut, yang pura-pura
tersenyum di antara retaknya hatiku. waktu berjalan dan akhirnya ketika
mereka saling bertukaran cincin, hatiku sudah tak bisa di sembunyikan
lagi, aku keluar dari bangku, perlahan aku mundur mundur dan mundur yang
akhirnya membuat aku harus balik ke arah belakang dan berlari sekencang
mungkin, berlari untuk meninggalkan kenyataan yang pahit. aku menuju
sebuah taman di mana kali pertama aku bertemu dengan aldi, 2 tahun yang
lalu.
“maaf apa ini dompet anda.”
“iya. makasih iya.”
“sama-sama. untung yang nemukannya orang jujur dan baik hati seperti aku, kalau tidak pasti dompet kamu uda hilang.”
“hhe, lagian gak ada isinya. paling Cuma KTP doang.”
“walaupun Cuma KTP tapi kan penting, kalau hilang bukannya sulit untuk mengurusnya kembali.”
“hha iya kamu benar.”
Dari situ keakrabanku di mulai dengannya. saling tukar nomor hp,
hingga dia menjemputku untuk makan malam. aku selalu curhat dengannya
apa yang terjadi dengan hari-hariku, begitu juga dia. dan dari semua
curhatan aku, membuat aku mengenal dia lebih dalam hingga memberanikan
diriku untuk mencintainya.
Tuhan, apa waktu bisa di putar kembali? jika bisa, saat itu aku ingin
memilih untuk tidak mengenalnya lebih dalam hingga membuat aku harus
hancur seperti saat ini. aku berjalan dan terus berjalan meninggalkan
taman itu, menuju sebuah cafe. tempat di mana biasanya aku dan Aldi
ngobrol sambil mengisi perut yang keroncongan. aku duduk di meja tempat
kami biasanya.
“mba saya pesan nasi goreng dengan sedikit kecap, pedas dan asin, juga jus alpukat.”
Tanpa sadar aku memesan menu makanan dan minuman kesukaan Aldi. aku
termenung, aku mengingat 4 bulan yang lalu, di meja ini kali pertamanya
hati aku merasa sakit, saat itu, aku menerima sebuah sms dari Aldi untuk
menyuruhku datang ke cafe biasa karena ada hal penting yang ingin dia
sampaikan padaku. tadinya aku sempat keGR’an.
“uda lama nunggunya syah?”
“gak kok, barusan aku datang. karena aku yang nyampe duluan kamu harus traktir aku iya.”
“iya deh. apa sih yang gak buat kamu.”
“ciie yang uda gajian.”
“hha gak kok.”
“eh iya Aldi. btw kamu pengen ngomong apa sh? kok kayaknya penting banget.”
“jelas pentinglah syah, ini untuk masa depan aku.”
“maksud kamu?”
“masa depan di mana akan ada keluarga baru di kehidupanku.”
“menikah?”
“iya. tepat banget.”
“menikah sama siapa? bukannya selama ini kamu belum punya pacar?”
“seseorang yang membuat aku jatuh cinta dengannya sejak pandangan pertama.”
Langsung saja aku terdiam, yang ada di pikiranku orang yang di maksud
Aldi adalah aku. soalnya hanya aku dan dia yang ada di sini, di meja ini
tepatnya. aku kembali bertanya padanya.
“uda berapa lama kamu kenal dia?”
“sekitar 1 tahun 3 atau 4 bulanan gitu deh syah.”
Berarti sudah tak salah lagi orang itu adalah aku. iya aku yang Aldi maksud, karena aku dan Aldi sudah 1 tahunan berkenalan.
“kamu mau tau orang itu siapa Syah?”
“siapa Di?” tanyaku dengan tak sabaran
“nah itu orangnya. Desiiii, teriaknya pada seorang gadis yang baru saja masuk ke cafe itu.”
Aku hanya terdiam bisu, aku berharap aku salah mendengarnya. mungkin saja Aldi salah mengucapnya.
“kenalin Syah, ini Desi. orang yang aku ceritain tadi.”
“ini? jadi dia Di?” sambil menahan air mata yang akan segera jatuh di pipiku
“Desi.” sambil tersenyum manis di depanku
“Risyah.”
Tanpa sadar aku menjatuhkan air mataku di depan mereka berdua.
“kamu kenapa nangis Syah?”
“oh gak Di. aku bahagia banget, akhirnya kamu uda bisa menentui mana
yang terbaik untuk masa depan kamu. aku gak nyangka kamu bisa memilih
gadis yang sangat cantik.”
“hha kiraen kamu kenapa.”
Aku tolol. aku menyembunyikan semua ini dengan sendirinya. hanya aku dan
Tuhan yang tau semua perasaan ini. aku ikut bercanda dengan mereka
berdua. Desi sangat baik juga cantik, cocok untuk Aldi.
Aku menutup mataku. berteriak dalam hati, sakit. ini benar-benar sakit. lebih dari hantaman batu di dadaku.
“maaf mba. ini pesanannya, apa mba baik-baik saja? ada yang bisa saya bantu?” kata pelayan cafe
“oh iya saya baik-baik saja. makasih mba.”
“kalau begitu saya permisi mba.”
“iya. makasih.”
“sama-sama mba.”
Setelah 3 suapan nasi goreng, aku menuju kasir dan membayarnya. kemudian
aku berjalan menuju rumahku yang gak jauh dari cafe itu. sesampainya di
rumah, aku segera menuju kamarku dan aku langsung menutup mataku,
hingga aku tertidur.
Pagi hari yang indah tapi tak seindah hatiku. dengan langkah yang
perlahan aku menuju toilet dan mandi. aku benar-benar tak bersemangat.
setelah itu aku menuju dapur dan berpamitan dengan mamaku tanpa sarapan
dulu. aku menuju mini market tempat aku berkerja. mungkin aku harus
membiasakan diri tanpa Aldi. 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4 hari hingga 10
hari telah berlalu.
“perjodohan apa ma? siapa yang akan di jodohkan? bukannya kakak sudah menikah 4 tahun yang lalu?”
“perjodohan buat kamu Syah. buat masa depan kamu.”
“dengan siapa ma?”
“dengan saudara dari teman mama sayang.”
“ma Risyah gak kenal sama dia. kenapa harus di jodohkan dengan Risyah ma.”
“nanti ada saatnya kamu berkenalan dengan dia Syah. umurnya 35 tahun
Syah, 35 tahun itu dewasa nak dan juga pengertian. 2 bulan lagi kamu
akan melangsungkan pernikahan.”
“2 bulan lagi ma?”
“iya Syah, dan mama tidak mau dengar alasan apapun dari kamu.” sambil
meninggalkan aku sendirian tanpa bertanya apakah aku siap atau tidak
Aku berlari, berlari dan terus berlari. aku menuju Gereja tua, di
mana Gereja itu adalah tempat aku berdoa, mengucap syukur bahkan
menangis dengan keras ketika masalah menghampiriku.
Tuhan, apa ini? belum 1 bulan berlalu dan belum sama sekali aku siap
menyatukan kepingan-kepingan hatiku yang hancur hingga menjadi utuh, aku
uda harus di coba seperti ini? apa ini? keadilan dan cinta kasih apa
yang aku rasakan Tuhan? aku harus menikah bersama orang yang gak pernah
aku kenal dan juga usianya 14 tahun jauh di atas aku. aku gak siap
Tuhan. aku mohon jangan uji aku seperti ini. aku gak mau menghabiskan
semua masa hidupku hanya dengan orang yang gak aku sayangi. Tuhan
sekarang jemput saja aku. aku gak kuat Tuhan.
Aku menangis dengan perasaan yang sangat benar hancur. tak bisa ku
bayangkan apa yang akan terjadi nantinya. ini benar-benar membuatku
hancur dan benci dengan kehidupan. aku meninggalkan Gereja, dengan
lambaian tanganku aku membuat 1 taksi berhenti. aku menuju sebuah pantai
padahal matahari sudah mulai terbenam. sesampainya di pantai. aku duduk
di sebuah karangan yang entah sudah berapa tahun lamanya dia
menyembunyikan separuh tubuhnya ke dalam air.
Heii ombak, hei angin, hei semuanya. apa kalian tau untuk apa aku
hidup? untuk apa aku terlahirkan? dan untuk apa aku mempikan sebuah masa
depan? apa dengan usiaku yang masih 21 tahun aku harus tenggelam dengan
sebuah pernikahan yang sama sekali bukan aku rencanakan dengan dia.
orang yang aku cintai bahkan orang yang tak aku kenal. apa orang tuaku
bisa tau, bisa menyadari dan bisa mengerti akan hancurnya perasaanku?
apa itu keadilan? apa aku sudah tak bisa bermimpi dan mewujudkan semua
impian aku? aku ingin jadi kamu karang, berusaha kuat meski ombak
menghantammu. tapi aku sendirian, bahkan Tuhan saja tak mau membantuku.
belum lama aku merasakan hancur dan sekarang … ackh aku muak! aku benci
dengan ini semua! aku harus bagaimana? kalau aku tak mengikuti semua
keinginan orang tuaku, mama pasti membenciku bahkan marah atau tak ingin
tau lagi denganku.
Namun hingga jam 22.29 wib tak ada 1 pun dari mereka yang menjawab.
tak ada yang mengerti perasaanku. orang yang biasa menyemangatiku,
menasehatiku, membuatku tersenyum di saat aku menangis sudah tak ada
waktu untukku.
Aku kembali berjalan ke komplek sebuah rumah megah. hujan rintik-rintik
tak akan bisa menghentikan langkahku. aku berdiri di sebuah megah, pintu
pagar bahkan pintu rumah itu tak tertutup. mungkin aku bisa dengan
mudah masuk ke dalamnya. seketika aku berdiri di depan pintu rumah itu.
aku melihat sepasang suami istri yang sedang bermesraan. laki-laki itu
mengecup kening wanita itu. kemudian laki-laki itu memeluknya dengan
hangat. apa tujuanku ke sini? ingin curhat dengan Aldi? ingin menangis
di depannya? itu sudah gak mungkin terjadi. sekarang orang yang berarti
untuknya sudah ada. siapa aku? aku bahkan hanya seorang sahabat yang tak
pernah dia hubungin lagi sejak dia menikah dengan pilihannya. aku tak
boleh egois, bukankah ini keinginanku? bukankah selama ini aku
menyembunyikan perasaanku demi kebahagiaan Aldi? aku tak ingin
mengganggunya lagi. secepat sebuah angin meniup rambutku, aku berlari
meninggalkan rumah dan komplek itu, aku pulang dengan tubuh yang basah,
hati yang sakit, pikiran yang kacau.
Aku masuk ke dalam rumah, aku menuju kamarku. aku duduk di atas
kasurku sambil melihat hujan di balik jendela kamarku. akhirnya dengan
perlahan aku membiarkan tubuhku di atas kasurku. aku menutup mata sambil
memeluk sebuah Alkitab. aku berharap setelah aku bangun, esok hari,
semua akan baik-baik saja.
“Syah, bangun nak. temani mama ke rumah saudara yuk nak.”
“sebentar ma Risyah masih ngantuk. lagian ini hari minggu ma, hari cuti Risyah 1 x selama sebulan ma.”
“gak ada kata sebentar, harus sekarang.”
“iya sudah Risyah mandi dulu ma.”
Aku selalu mengikuti semua perkataan mamaku karena aku amat
menyayanginya. tak akan aku biarkan 1 tetesan air matapun yang
menghancurkan senyumnya. mungkin ini alasanku mengapa aku tak bisa
langsung saja menolak perjodohan ini.
“kalau nanti kamu sudah menikah, mama orang pertama yang akan bahagia.”
“mama. kenapa Risyah harus di jodohkan? kenapa mama tak membiarkan Risyah mencoba mencari sesuai pilihan Risyah.”
“tidak. lelaki zaman sekarang itu semua gak baik nak. mama yakin pilihan mama akan jadi yang terbaik untuk kamu.”
Aku hanya diam. berharap Tuhan yang langsung bicara kepada mama. namun
sampai aku tiba di sebuah rumah saudara Tuhan tak juga turun untuk
bicara.
“Risyah. apa kabar?”
“baik tan.”
“masuk kak.” katanya pada mama
Risyah kenalin ini Rino, orang yang akan menikah denganmu nanti.
lagi-lagi aku merasa sakit. mama sengaja membangunkanku dari mimpi
indahku hanya karena ingin aku bertemu dengan orang asing ini. aku diam
dan aku langsung duduk. mama dan tante meninggalkan kami berdua. dia
memulai pembicaraannya, mencoba minta nomorku. dan aku hanya bisa
memberikan nomorku dengan pasrah. apa dia buta? apa dia tolol, atau
bahkan dia idiot, tak bisa melihat respon ku ke dia? harusnya dia tau
bertapa aku membencinya bahkan jijik sekali dengannya. orang yang sama
sekali gak laku di dunia ini mungkin dia, yang dengan iyanya saja
menerima jodohan ini. aku kalau bukan karena mama, ingin rasanya aku
langsung menolaknya.
Entah apa saja yang dia bicarakan, aku tak lagi ingin mendengarnya.
dan akhirnya aku dan mama pamit. dalam hati kecilku berkata, akhirnya
aku bebas dari lelaki tua tak laku ini.
“dia itu statusnya jelas nak, uangnya juga ada. masa depan kamu bakal cerah nak.”
“uang ma? maksud mama?”
“dia punya uang banyak. semua keluarganya kaya.”
“stop Pak. Risyah mau turun di sini aja.” kataku pada pak supir pribadi keluargaku
Ketika mobil itu berhenti, aku langsung turun dan kembali langkah kakiku
menuju pantai itu lagi. aku kembali bertanya pada ombak, karang, pasir
yang sama sekali tak akan pernah menjawabnya. iya sampai kapanpun itu!
Apa aku gak salah dengar? uang? kekayaan? apa itu yang akan menjamin
semua kebahagiaanku? apa Cuma itu yang akan membeli kebahagiaanku? mama,
kenapa itu alasan utama mama menjodohkanku? tidakah mama sedikit
mengerti bagaimana menderitanya aku ma? sekalipun nanti aku menikah
dengan orang yang penghasilannya Cuma dari kepingan sampah di jalanan
tapi dia mencintaiku dan sebaliknya aku juga mencintainya. itu adalah
kebahagiaan ma. bukan uang, bukan harta yang seperti mama katakan. semua
harta hanya titipan Tuhan ma. bisa lenyap, bisa hilang kapan saja Dia
mau. kalau aku menikah dengannya Cuma karena uang dan hartanya, lalu
bagaimana jika suatu saat nanti dia bangkrut, dia miskin, bahkan dia tak
sanggup memberikanku sebutir beras, bagaimana dengan semua itu ma? apa
di situ mama bakal tau semuanya? apa di situ mama bakal sadar? kenapa
ma, kenapa harus begini. aku tau aku harus berbakti pada mama. tapi gak
gini ma. sama aja menenggelamkan semua impianku. Risyah butuh dukungan
ma bukan perjodohan.
Gak ini gak bisa di biarkan, aku harus secepatnya menghentikan semua
ini. karena Cuma aku yang bisa. aku berlari dengan kencang sambil
sesekali mengusap pipiku yang masih basah karena tetesan air mata. aku
berlari menuju rumahku. namun sesampainya di rumah ku lihat dokter baru
saja keluar dari rumahku. ku langkahkan kakiku perlahan dan masuk ke
dalam rumah, aku bingung ada apa ini. siapa yang sakit. kemudian aku
melihat dari balik pintu kamar mama, mama terbaring dan papa duduk di
sampingnya. aku mendengarkan pembicaraan mereka.
“mama jangan banyak pikiran. kondisi mama jadi tidak baik. ingat ma,
sakit jantung itu bukan penyakit yang biasa.” kata papa sambil
mengenggam tangan mama
Apa? selama ini mama sakit jantung? kenapa mama gak pernah cerita ke
aku? lalu bagaimana nanti ketika aku mengatakan ingin membatalkan
perjodohan itu? ini lebih gak boleh terjadi.
“mama Cuma pengen Risyah segera menikah pa.”
Tiba-tiba tanpa berpikir panjang, aku masuk ke dalam kamar mama dan berkata.
“lalu kenapa gak secepatnya saja mama?”
“maksud Risyah menikah nak?”
“iya ma.” aku tersenyum namun hatiku hancur
“iya nak, 3 hari lagi kamu akan menikah.”
“iya ma. mama cepat sembuh, Risyah mandi dulu ma.”
Aku menuju kamarku dengan air mata yang berlinang. aku terpaksa
melakukan ini semua demi kebahagiaan mama. aku gak mau mama
kenapa-kenapa. aku segera menuju toilet, aku menghidupkan shower yang
ada di toiletku. aku menangis tanpa henti. aku membiarkan tubuhku
kedinginan. aku berharap keterpaksaan ini adalah yang terbaik.
Setelah badanku mulai lemas, aku segera berhandukan dan menganti
pakaianku. aku tebaring di kasurku dan kembali ku peluk erat Alkitabku.
aku berharap ini yang terbaik Tuhan. akupun tertidur.
Pagi hari aku bangun seperti biasa dan aku menuju toilet. usai mandi
aku langsung meninggalkan rumah. aku menuju tempat aku bekerja. belum
lagi sampai aku bekerja, ku dengan hpku berdering. ku lihat pangilan
dari Rino. lelaki tua itu lagi. 4 5 bahkan 8 x dia mencoba
menghubungiku. dengan emosi aku meriject panggilannya dan mengetik sms
‘aku lagi kerja, tolong jangan di ganggu dulu.’ namun dia malah tetap
menghubungiku. ini orang waras atau idiot. aku benar-benar gak habis
pikir. katanya umur 35 tahun itu dewasa tapi mana buktinya. akhirnya aku
mematikan hpku.
Sore hari tiba.
Begitu juga dengan esoknya. dia membuat aku jengkel, lagi-lagi
menelponku di saat aku kerja. tapi aku berusaha sabar, hanya demi
‘mama’.
Siang harinya aku permisi dengan bosku dan ku ceritakan padanya aku
akan berhenti bekerja karena esok aku akan menikah dan aku mamberikan
undangan kecil padanya, undangan sama sekali belum pernah aku buka dan
aku baca apa itu isinya. aku berharap di situ ada nama Aldi namun itu
tak akan pernah mungkin terjadi.
Pulang kerja setelah aku menerima gaji akhirku, aku menuju Gereja tua
itu. aku memasukan amplop yang aku terima dari bos tempat aku bekerja
ke dalam kotak kecil. sumbangan itu semoga berarti untuk Gereja ini.
Gereja yang sangat tua. Gereja di mana tempat aku selalu berdoa. aku
meninggalkan Gereja tua itu. dan seketika aku ingin mengambil uang dari
dalam tasku, jatuhlah sebuah undangan. ku lihat di situ ada tulisan,
untuk : Aldi dan keluarga di tempat. iya itu aku yang menulisnya tadi
malam. tujuan undangan itu pada Aldi. namun aku tak bisa memberinya.
lebih baik pernikahan ini aku sembunyikan dari dia. entah apa tujuannya
tapi itulah keinginan hatiku yang paling dalam.
Ketika aku sampai di rumah.
“kenapa sich kamu gak pernah mau angkat telponku. padahal besok kita akan menikah.” kata lelaki tua tak laku itu
“aku kerja, aku sibuk dan waktuku bukan hanya untuk menerima telponmu.” sambil meninggalkannya
Aku masuk ke kamarku. dan di depan lemariku ada sebuah pakaian yang
indah dan putih, yang akan aku pakai pada saat nikah besok. menurutku
pakaian itu penting di semua hidup orang lain, namun untuk besok pakaian
itu tak lagi penting di hidupku. ku tinggalkan saja mereka di luar. aku
langsung tidur.
Esok harinya tibalah saatnya. aku mandi dan memakai pakaian putih
itu. sungguh cantik tapi tidak hatiku. hatiku sudah rusak
berkeping-keping dengan semua kenyataan pahit ini. sebelum aku
meninggalkan kamarku, aku genggam erat kedua tanganku dan aku berdoa
‘kuatkan aku Tuhan’.
Di depan Gereja tempat aku akan melangsungkan pernikahan. aku
menatapi semua tamu-tamu yang hadir. aku bersyukur Aldi tak hadir dan
tak akan pernah hadir karena dia tak tau sama sekali tentang acar ini.
Akhirnya acara di mulai. dan kemudian aku sah menjadi istri dari
lelaki ini. usai acara, kami menuju sebuah rumah, di mana rumah ini
tempatku nanti hidup berdua dengannya. aku masuk ke dalam rumah ini.
belum lagi duduk.
“buatkan aku minum.” perintahnya
“bisa gak kamu lihat aku lagi mau mandi. kamu kan bisa buat sendiri.”
“kamu jangan membantah. aku muak denganmu! selama ini aku sabar denganmu
sampai pernikahan ini terjadi dan kamu sudah menjadi istriku.”
“harusnya aku yang bilang muak sama kamu. aku anggap kamu hanya penghancur mimpiku.” jawabku dengan emosi
Namun plak, sebuah tamparan yang sangat kencang mendarat di pipiku.
selama 21 tahun aku hidup belum pernah aku di perlakukan seperti ini
bahkan orang tuaku. aku meneteskan air mata dan melihat dia yang semakin
jauh meninggalkanku menuju kamar. karena emosi yang sangat tinggi. aku
menghampirinya tanpa rasa takut. aku ingin membalasnya.
“apa kamu pikir aku suka sama kamu. udah tua, gak ada otak. tolol.”
“diam kamu. jangan sampai aku melakukan yang lebih kasar dari tadi.”
“kamu mau apa? bunuh aku? aku malah lebih senang kamu bunuh.”
Dia menendang perutku, dan akhirnya aku mengambil vas bunga yang ada di
meja hias, aku melemparkan ke arahnya, dan kena ke kepalanya. karena ini
pertama kalinya aku berbuat kasar ke orang lain, aku takut. apalagi
waktu aku melihat ada tetesan darah yang mengalir di kepalanya. aku
berlari, aku berlari secepat mungkin meninggalkan rumah itu. aku menuju
toko baju dan aku beli sepasang baju. kemudian aku memasukan baju
pengantinku ke sebuah plastik kecil. aku menuju pantai. aku menangis
sekencang-kencangnya dan aku berteriak. inikah kebahagiaan itu? inikah
yang pengertiaan dan dewasa itu? inikah takdir itu? inikah jawaban
pengorbanan itu? semua ini hanya kegelapan! aku harus ceritakan ini
semua pada mama. aku punya bukti kuat, dengan adanya memar di perutku.
aku berlari pulang dengan linangan air mata yang sangat deras.
Namun sampainya aku di depan rumah, belum lagi aku masuk.
“pa akhirnya keinginan mama tercapai pa. Risyah menikah juga. tanggung
jawab kita sudah hilang pa. selama ini anak itu hanya beban untuk kita.”
“tapi ma bagaimana dengan hidupnya? apa dia baik-baik saja ma? dengan mama berpura-pura sakit jantung itu sama aja dosa ma.”
“mama tidak peduli pa, yang terpenting rencana mama berhasil.”
Astaga jadi ini tujuan mama menikahiku dengan orang lain yang sama
sekali gak aku cintai? jadi ini alasan yang sebenarnya? aku ternyata
hanya beban untuknya. untuk keluarga ini. dan yang paling sakit di hati
aku. aku berkorban untuk sebuah kebohongan? ternyata mama gak sakit sama
sekali. beginikah mama yang selama ini aku sayangi dan aku utamakan?
belum lagi habis pertanyaanku.
“kasihan Risyah ma. papa perhatiin dia sepertinya dia gak bahagia dengan
ini semua ma. di pernikahannya tadi bahkan untuk tersenyumpun dia sulit
ma.”
“buat apa papa pikirin dia? dia bukan anak kita pa! dia hanya titipan
anak dari pelac*r paa yang harus mama besarkan dengan susah.”
“ma. mama kandung Risyah bukan pelac*r! dia adalah orang yang di nodai oleh orang yang sama sekali gak bertanggung jawab.”
“salah dia sendiri terlalu bodoh.”
“tapi beliau teman baik mama.”
“itu dulu pa, sebelum dia meninggal setelah 1 minggu melahirkan Risyah.”
“walaupun dulu, tapi ingat semua yang mama punya saat ini, yang mama
pergunakan saat ini adalah harta Risyah, harta warisan dari mamanya.
mama tidak boleh begini.”
“lalu papa mau apa? papa juga terlanjur membohongi Risyah dengan
kepura-puraan sakit mama. yang penting sekarang gak ada yang
menghalangin mama untuk miliki semua harta dia.”
“mama buta oleh semuanya.”
Bak di samber petir hatiku. Tuhaan ini lebih pahit dari semuanya.
ternyata aku bukan anak mereka. selama ini aku hanya di besarkan karena
amanah mamaku. Tuhan aku lelah dengan kenyataan ini. aku berlari menuju
Gereja, sebelum sampai Gereja aku mendekati sebuah botol kecil dan aku
memecahkannya, ku ambil dan ku bawa serpihan kacanya. aku membeli pulpen
dan buku di sebuah warung yang tak jauh dari Gereja itu. aku masuk ke
Gereja itu. dan aku menulis semua goresan luka di hatiku.
Dear mama & papa :
Terima kasih atas semua kasih sayang yang kalian berikan kepadaku.
terima kasih atas semua kenyataan hidup yang seharusnya aku tau sejak
dulu. aku tak akan membenci kalian sedikitpun. tak akan pernah. sekarang
aku ingin pamit dari kalian. inikan yang mama mau? pernikahanku. hanya
pernikahan, dan sekarang aku telah menikah ma. aku sudah memenuhi semua
keinginan mama bahkan impian mama, aku juga mewujudkan keinginanan mama.
terima kasih ma. jaga diri kalian mama papa.
Dear Aldi :
Terima kasih juga kamu mau menjadi sahabatku. kamu tau, aku adalah gadis
bodoh yang sudah lama mencintaimu. aku menyembunyikan perasaanku 2
tahun lamanya, dan selama itu. aku tak bisa menghilangkannya bahkan
membencimu ketika kamu gak pernah peka sedikitpun pada perasaanku.
sekarang sebelum pergi, aku ingin mengatakan padamu dengan jujur tentang
semua perasaanku. harusnya secara langsung, tapi aku takut melukai hati
Desi. dan kamu Desi jagalah suamimu dengan baik. kamu beruntung
mendapatkannya. terima kasih buat kalian berdua.
Tuhan. maafkan aku dengan semua ini. aku merasa baik-baik saja dengan
semua ini Tuhan. aku titipkan mereka. maafkan kesalahanku Tuhan.
Tanpa pikir panjang aku pun memotong urat nandiku dengan serpihan
kaca. aku melihat darahnya semakin mengalir deras. deras dan sangat
deras sehingga membuatku tak bisa lagi melihat. gelap, hening tanpa ada 1
cahayapun yang aku temukan. inilah perjalanan hidupku. Jurang dari
Keterpaksaaku. aku melakukan ini dengan terpaksa hingga aku harus
mengakhirinya dengan terpaksa juga. mengakhiri hidupku di depan Tuhan,
di Rumah Suci Tuhan. ini jurang untuk tadirku. maafkan aku Tuhan telah
mengotori Rumahmu dengan air mata berdosa, darah berdosa dan segumpalan
kepedihan dari hatiku. terimalah aku dan ampuni aku Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar